VIVAnews - Atsushi Asokawa nekat berjalan melintasi tumpukan lumpur menuju SD Togura, satu di antara sedikit bangunan yang masih tegak berdiri di Kota Minamisanriku di Prefektur Miyagi -- wilayah yang rata diterjang tsunami, Jumat 11 Maret 2011.
Sekolah itu hanya 100 meter dari pantai. Salah satu kru CNN menyertai Asokawa saat kepala sekolah itu menaiki tangga dan melihat kerusakan sekolah itu untuk kali pertamanya. Lumpur, rumput laut, dan jaring ikan ditemukan di lantai paling atas bangunan tiga tingkat itu.
Di salah satu bagian dinding sekolah, terlihat jam dinding yang mati. Jarumnya mengarah ke angka 14:46 petang -- saat di mana bumi Jepang diguncang gempa dengan kekuatan 9,0 skala Richter.
Mainan, tas-tas, pasir dan rumput laut campur aduk tak karuan. Terlihat bangku yang tersangkut di langit-langit. Sementara tas-tas punggung masih tersimpan rapi di lemari -- ditinggal oleh para pemiliknya -- 107 murid berusia 6 sampai 12 yang melarikan diri saat gempa.
Meski 107 murid saat ini berada dalam penampungan terdekat, diurus oleh para guru, Asokawa mengaku masih khawatir. Kata dia, seluruh muridnya berjumlah 108 orang. Saat bencana terjadi, satu murid absen dan sampai saat ini masih dinyatakan hilang.
Para murid dan sejumlah guru termasuk orang-orang yang beruntung. Bagaimana tidak, setengah populasi kota Minamisanriku -- yang seluruhnya berjumlah 9.500 orang -- dinyatakan hilang saat gelombang gergasi menerjang kota.
"Saat gempa mengguncang, anak-anak langsung berlindung di bawah meja," kata Asokawa, seperti dimuat CNN, Kamis 17 Maret 2011. "Kemudian, anak-anak berkumpul di halaman sekolah dan bergegas menuju kawasan perbukitan di belakang sekolah."
Saat itu ia mengaku mengikuti prosedur standar penyelamatan tsunami yang berlaku di Jepang. Apalagi di kawasan pesisir itu, penduduk kota kenyang dengan pengetahuan menyelamatkan diri saat tsunami. Namun, Asokawa mengaku, tak ada buku panduan yang menggambarkan Jepang bakal dilanda gempa sedahsyat itu dan gelombang setinggi 10 meter.
"Kami melihat gelombang tinggi datang, meski kami berada di tempat tinggi, kami merasa masih ada di zona bahaya. Lalu kami semua lari ke wilayah yang lebih tinggi," kata Asokawa.
SD Togura berdiri di tengah kota -- yang saat ini menjadi wilayah tanpa tanda-tanda kehidupan. Air kuat menyapu jalanan aspal, koridor sekolah dipenuhi pohon-pohon yang tumbang tersapu gelombang.
Sudah tiga dekade Asokawa mengabdi sebagai guru. Setelah dipromosikan menjadi kepala sekolah, ia ditempatkan di Minamisanriku. Pria itu miris melihat kondisi sekolahnya, apalagi seminggu sebelum bencana datang, gedung olah raga baru saja diresmikan. Kini gedung olah raga itu menjadi struktur bangunan tak berbentuk yang diselimuti rumput laut.
Asokawa tak mau berpangku tangan. Ia tengah mempersiapkan diri, jika sekolahnya nanti kembali dibuka. Kini ia mencari dokumen-dokumen penting dan menanti instruksi pemerintah. "Saya menunggu anak-anak kembali," kata dia. (umi)
• VIVAnews
0 komentar:
Posting Komentar