VIVAnews--Bagaimana watak manusia Jepang dalam menghadapi bencana besar? Hari itu adalah hari ketiga Gempa Tohoku di Jepang, Ahad 13 Maret 2011. Pemerintah Jepang, dan perusahaan listrik Tepco, mengumumkan pada pers: listrik tak jadi padam di Tokyo. Kenapa?
Warga Tokyo rupanya taat pada seruan menghemat listrik sejak sehari sebelumnya. Persediaan listrik pun cukup. Pemadaman listrik bisa ditunda.
Sejak sehari sebelumnya, pemerintah cemas. Empat reaktor PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Fukushima gagal berfungsi akibat gempa Tohoku berskala 9 Skala Richter (tadinya dihitung 8,9 SR), dan tsunami besar sesudahnya. PLTN Fukushima ini adalah pemasok energi ke Tokyo, di samping ke daerah Sendai, propinsi Miyagi, yang dekat pusat gempa.
Pengumuman disebarkan: lewat televisi, SMS, internet, petugas pemkot (pemerintah kota), dan sebagainya. Maka, begitulah: Tokyo berubah. Lebih temaram dari biasanya. Toko-toko di Harajuku, Shinjuku, dan Shibuya (pusat belanja youth culture yang penuh lelampuan) banyak yang tak buka, atau tutup lebih cepat.
Lampu-lampu sebagian dimatikan. Rata-rata kantor bekerja dalam penerangan alakadarnya. Televisi digital raksasa di perempatan Shibuya (tiga, satu yang terbesar di gedung Tsutaya) tak menyala.
Penghematan juga berlangsung di rumah warga. Sabtu itu, misalnya, saya melihat twit seorang warga mengingatkan tak berlama-lama online internet. Kita harus hemat listrik, dan ingat ini untuk kepentingan bersama –begitu kira-kira pikiran warga Tokyo sejak seruan hemat listrik disebarkan.
Saya tinggal di Mejiro, Tokyo. Daerah ini cukup sepi, seperti daerah Senopati, Kebayoran, Jakarta. Tapi, selama beberapa hari ini, daerah itu lebih sepi dari biasanya. Pukul tujuh malam, dan suasana seperti pukul 11 malam di masa sebelum gempa Tohoku. Banyak warga Jepang lebih cepat kembali ke rumah, dan mematikan sebagian besar lampu–sambil menyimak berita di TV atau radio digital.
Gerakan hemat bersama rupanya berbuah di hari Minggu itu. Pemadaman bergilir tak jadi dilaksanakan. Tapi, seluruh kota tetap melanjutkan penghematan energi, karena keadaan darurat terus berlangsung.
Lebih mencengangkan lagi, saat awak televisi mulai boleh masuk ke daerah pusat bencana di propinsi Miyagi, terutama Sendai dan Fukushima. Pastilah pangan langka di kota-kota itu, (Tokyo pun sudah merasakan ini sejak Sabtu), juga listrik, dan gas. Biasanya, nyaris seperti klise, akan ada penjarahan atau kekacauan akibat panik.
Di Sendai dan Fukushima, pada pojok kota yang tak rusak parah akibat gempa dan tsunami, alih-alih kita melihat antrean panjang warga di supermarket. Jumlah pembeli yang boleh masuk supermarket dibatasi. Jumlah belanjaan pun dibatasi. Dan, bukannya meradang, panik, atau menjarah, para warga tetap antre sepanjang ratusan meter tanpa ribut-ribut.
Kok, bisa?
Masyarakat (paling) sadar-gempa
Pada saat guncangan besar pertama terasa di Tokyo, saya sedang berada di apartemen. Apartemen itu dua lantai, hanya empat pintu, di ujung gang kecil. Kamar saya di lantai dua.
Saat gedung terasa bergetar, saya terkesiap. Tapi tak buru-buru keluar. Sejak Juli tahun lalu saya tinggal di Tokyo, dan mulai terbiasa dengan getaran-getaran kecil. Tapi, kali ini beda. Getaran berlanjut, dan kian besar. Saya segera keluar, ngeri, tanpa sempat pakai sepatu serta jaket, dan berpikir di luar akan dingin (musim dingin memang masih bersisa).
Ternyata, saya hanya sendirian di apartemen itu. Sepanjang gang kecil itu, penghuni rumah tetangga pun tak terlihat. Bumi berguncang. Saya sendirian berjalan terhuyung. Rumah-rumah bergetar, tiang-tiang listrik dengan jalinan kabel rumit tapi rapi, khas seperti kerap tergambar dalam komik-komik Jepang, tampak bergoyang-goyang. Itu adalah menit-menit terlama dalam hidup saya, rasanya.
Sampai saya keluar gang, barulah saya lihat orang di jalan. Seorang ibu muda dan anak perempuannya masih SD tampak terdiam ketakutan. Tapi, selebihnya, lelaki dan perempuan paruh baya atau tua –dan alangkah tenangnya mereka!
Mereka bahkan menatap bangunan dan tiang yang bergoyang itu dengan senyum. Tentu, tawa dan senyum seringkali menjadi upaya peredaman rasa takut dan cemas. Tentu, mereka takut. Tapi, mereka tak panik. Itu membuat saya tenang juga.
Saat guncangan pertama, pk. 14.46 hingga sekitar lima menit kemudian, reda, para tetangga saya itu saling bertatapan, bicara (saya tak mengerti bahasa Jepang, jadi saya tak paham apa kata mereka), tersenyum, dan membenahi pot-pot bunga yang jatuh.
Di kejauhan, saya lihat kurir melanjutkan tugasnya menaruh kiriman pos ke kotak-kotak pos sepanjang jalan. Saya kembali ke apartemen. Kamar saya berantakan. Buku-buku berjatuhan. Baru saja duduk sejenak, getaran terasa lagi.
Segera saya bereskan laptop saya, juga dua hard disk eksternal dan wi-fi portabel, paspor, dan kali ini saya berpakaian lengkap melawan dingin di luar. Saya mau ke daerah yang saya akrabi, mungkin Shibuya. Sepanjang jalan menuju stasiun Mejiro, jalanan bergetar sesekali. Tapi, saya perhatikan orang-orang tetap melanjutkan pekerjaan mereka, atau berjalan biasa –walau kali ini wajah mereka tampak cemas dan bingung.
Saat saya di jalan raya Mejiro (yang tak terlalu besar, tapi di kanan kiri ada deretan bangunan tingkat) bumi berguncang lagi. Orang-orang di dalam gedung keluar. Orang-orang yang berjalan, tampak menatap ke atas, ke gedung-gedung yang bergoyang itu, tapi tak ada yang panik. Tak ada!
Seorang pemuda Jepang berbadan besar yang keluar dari sebuah gedung, saya ajak bicara. "Apa sering, goyangan sebesar ini?" Dia, tertawa, menjelaskan bahwa dia sudah tinggal di Tokyo 3-4 tahun, dan ini adalah guncangan terbesar yang ia alami. Goyangan bumi masih terasa, tapi sudah mereda –kami menunggu sambil mengobrol. Dia menyalakan rokok. Lalu bercerita bahwa dia pernah membaca di koran, seorang profesor (dia lupa, siapa) sudah meramal akan ada gempa besar menimpa Tokyo, mungkin dalam delapan tahun ini.
Lalu kami bicara tentang Gempa Kanto, 1923. Jumlah korban waktu itu, sekitar 140 ribu orang tewas. "Kebanyakan, tewas akibat pasca-gempa," kata pemuda itu. Hal-hal seperti kebakaran, terjebak reruntuhan, dan sebagainya, yang menelan banyak korban. "Itulah kenapa, di Jepang, kami merancang bangunan dan peraturan bangunan untuk bersiap atas keadaan itu. Jika gempa besar, misalnya, gas otomatis mati, agar tidak terjadi kebakaran."
Goncangan mereda, dan pemuda yang saya lupa tanya namanya itu, pamit sambil senyum, "Saya harus masuk, lagi, ya." Sigap dia masuk gedung. Sepanjang obrolan, saya tak bisa melupakan wajah para pejalan kaki sewaktu getaran terjadi: mereka siaga, kadang berhenti menatap gedung-gedung, tapi tak ada yang panik. Bagi yang panik, warga Jepang akan berucap, "Daijoubu, daijoubu". Artinya: "Tidak apa, keadaan akan membaik."
Kesan ini saya tangkap merata. Beberapa jam kemudian, teman-teman saya sesama orang Indonesia di Tokyo, bercerita saat-saat gempa terasa. Orang-orang Jepang umumnya tak panik. Malah banyak yang memotret, atau merekam dengan HP dan kamera digital, gedung-gedung yang bergoyang itu. Pikiran saya segera teringat pada berbagai drill, atau latihan menghadapi gempa yang dilakukan di semua kalangan, sejak masih kanak.
Teman saya mahasiswa S3 di Jepang, Meta Pujiastuti, bercerita betapa kedua anaknya yang masih sekolah SD di Jepang, setiap pulang sekolah harus selalu tandatangan semacam surat ikrar agar selalu bertanggungjawab pada keselamatan diri, terutama saat bencana.
Setelah pemuda tadi masuk gedung, saya lanjut ke stasiun Mejiro. Saya lihat, petugas-petugas berseragam sudah bergerak mencatat kerusakan akibat gempa. Itu hanya beberapa menit setelah gempa! Saya lewati sebuah komban (pos polisi), dan orang-orang antre menanti giliran bertanya pada polisi. Seorang polisi naik sepeda, dan bersiap berkeliling.
Halaman stasiun yang lapang jadi tempat berkumpul orang-orang. Petugas stasiun juga dengan segera berfungsi sebagai pusat informasi. Dengan TOA, mereka mengumumkan keadaan. Kereta Yamanote Line berhenti beroperasi. Bus-bus penuh. Taksi langka. Saya perhatikan, supir bus pun memberi informasi pada antrean calon penumpang, tentang kenapa bus akan terlambat, dan kapan bus berikut akan tiba.
(Bus-bus di Jepang selalu dilengkapi pengeras suara, untuk menginformasikan keadaan perjalanan kepada penumpang –kapan akan berhenti, di mana akan macet jika ada, dan secara umum, beramah-tamah mengucap "silakan turun" dan "terimakasih telah naik bis ini.")
Harus diakui, pemerintah dan seluruh elemen masyarakat Jepang, setidaknya yang saya saksikan sebagian di Tokyo, menampakkan kesiapan, dan kesigapan mengagumkan. Perdana Menteri Nakoto Kan segera mengadakan konferensi pers sekitar setengah jam setelah gempa. Pemerintah mengirim pesan-pesan penting ke warga langsung ke ketai (ponsel) lewat SMS.
Tak diragukan pula, kode bangunan dan teknologi antigempa yang diterapkan sangat ketat di Jepang, telah menyelamatkan jiwa ratusan, atau mungkin jutaan warga. Tokyo adalah salah satu kota terpadat di dunia: penduduknya sekitar 35 juta orang, dengan infrastruktur rumit. Guncangan besar kemarin, seperti bisa terlihat dalam sebuah video amatir, bisa jadi bencana besar di kota-kota yang kurang siap dan ketat seperti Tokyo.
Seperti komentar di BBC, Jumat malam itu: "Japan is the most earth-quake conscious country in the world." Baik warga, maupun segala unsur pemerintah kota telah bersiap lama menghadapi gempa.
Masalahnya, semakin lama, kian meresap pula skala bencana ini di warga Tokyo. Guncangan besar tadi, bukan gempa di Tokyo, tapi akibat gempa di Sendai, Fukushima, propinsi Miyagi di sebelah utara Jepang. Ini gempa terbesar di Jepang yang pernah tercatat, sejak pencatatan modern dilakukan. Ini gempa lebih besar dari Gempa Kanto 1923.
Lebih dari itu, gempa ini menimbulkan tsunami dalam skala sangat besar, menimpa daerah pantai utara pulau Honshu, menyapu cepat banyak wilayah pantai: kota-kota kecil seolah terhapus dari muka bumi, hanya dalam hitungan menit.
Dari jam ke jam, jumlah korban tewas, dan hilang bertambah terus. Belum lepas horor tsunami, kabar kegagalan-fungsi reaktor nuklir PLTN Fukushima 1 pun merayap.
Makin lama, makin mencemaskan.
Antara rencana, dan bencana
Gagal-fungsi dan kebocoran radiasi di empat reaktor Nuklir Fukushima 1 adalah gambaran betapa tak terduganya alam. Pengamanan reaktor nuklir itu disiapkan menghadapi gempa berskala 7,9 SR. Gempa kemarin: 9 SR.
Apalagi kerusakan akibat gelombang tsunami, setinggi kurang lebih 10 meter, yang bergerak secepat pesawat jet dari pusat gempa. Segala upaya penanganan kian terhambat oleh gempa-gempa susulan yang bisa mencapai 6 SR hingga Rabu malam, 16 Maret 2011. Manusia berencana, alam bicara lain.
Sampai tulisan ini dibuat (Kamis, 17 Maret 2011), kerusakan reaktor nuklir semakin parah. Pemerintah dan pemilik reaktor nuklir itu, Tepco, tampak semakin kewalahan. Banyak warga Tokyo mulai frustasi melihat ini semua. Beberapa warga diwawancarai BBC dan NHK menyatakan ketakpercayaan mereka terhadap pemerintah.
Kinerja pemerintah sendiri memang banyak dikritik warga, saat ini. Pemerintah dianggap kurang terbuka, dan lamban mengatasi masalah. Di Fukushima sendiri, beberapa warga dan walikota, menyatakan kemarahan mereka pada Tepco dan pemerintah. Mereka merasa dikibuli soal keselamatan reaktor nuklir itu.
Jumlah korban pun terus meningkat: saat saya menulis ini, tercatat korban tewas dan hilang sudah 13.000 orang. (Catatan: "hilang" di situ berarti terkonfirmasi sebagai korban hilang. Sementara, yang belum tercatat masih banyak.) Kemungkinan, jumlah ini akan terus meningkat. Sekitar 450.000 orang kehilangan rumah, dan berada di tempat penampungan.
Angin dingin membungkus Jepang lagi, salju turun di pusat-pusat bencana. Dan krisis nuklir di Fukushima terus memburuk.
Sepantasnya, jika PM Naoko Kan menyebut ini adalah kesulitan terbesar yang dihadapi Jepang sejak Perang Dunia ke-2. Dampak sosial-ekonomi dari bencana ini sungguh besar, dan bisa jadi berdampak pada ekonomi global.
"Kita bangun lagi!"
Betapa pun, manusia Jepang telah ditempa alam dan kebudayaan. Maut akrab dengan kehidupan masyarakat Jepang, yang rata-rata terkena gempa kecil (tremor) 1000 kali setiap tahun, sudah merasuk ke dalam alam pikir manusia Jepang.
Wujudnya yang segera terlihat adalah: tampang stoic (kalem, tenang) para warga Jepang menghadapi keadaan saat ini. Anda bisa lihat di televisi stasiun berita dunia (tanpa iringan musik dramatis macam liputan bencana televisi Indonesia) wajah-wajah kalem itu. Ada satu dua tangisan. Tapi lihatlah: bahkan anak-anak yang sedang diungsikan dari daerah tsunami, hanya sedikit yang menangis.
Bukan berarti tak ada kecemasan, ketakutan, dan sebagainya. Saya berjalan ke Shinjuku, Ikebukuro, Shibuya, Akihabara, dan sekitarnya, dan merasakan kota yang dirundung patah hati. Orang-orang berjalan bersama, masih bisa tertawa (saya tak paham apa yang mereka bicarakan). Tapi, dalam sendiri, saya seperti merasakan ada kecemasan menggayut di udara, melihat wajah-wajah tenang tapi lelah itu.
Rata-rata warga Tokyo masih susah tidur, agaknya, karena gempa-gempa susulan masih terjadi hingga Rabu malam. Sampai Rabu sore, sudah lebih dari 200 kali gempa susulan, kadang sampai menggetarkan rumah. Mereka bisa terbangun mendadak oleh getaran keras di jelang subuh. Hal ini sungguh menguji urat syaraf!
Tapi, di tengah semua itu, mencuat juga kebersamaan. Bukan hanya di tingkat individual atau komunal, tapi juga di tingkat kelembagaan. Harga-harga sebagian makanan di kombini (convenient store) justru diturunkan, karena krisis! (Di Indonesia, biasanya dinaikkan jika langka, bukan?)
Betapa kebersamaan itu terasa. Beberapa kawan yang orang Jepang asli, memberi perhatian pula pada saya, sang tamu di negeri ini. Yo Nanoko, seorang peneliti Indonesia, sewaktu gempa harus berjalan selama tiga jam ke rumahnya yang berada di luar pusat kota. Suaminya, malah harus bersepeda 40 kilometer dari Chiba, daerah pantai Tokyo, ke rumahnya. (Beberapa warga ada yang sampai berjalan selama 6 jam untuk tiba ke rumah mereka.)
Sampai di rumah, dini hari, mereka masih harus membereskan barang-barang yang berantakan akibat gempa. Dan Yo, masih sempat menyapa lewat twitter, minta maaf karena tak langsung kasih kabar waktu saya bertanya apakah dia baik-baik. Esoknya, malah Yo seperti tak enak, sebagai tuan rumah, karena saya yang sedang bertamu ini harus mengalami semua ini. Hal sama saya dapati dari beberapa teman Jepang saya yang saling bersapa sesudah gempa.
Semakin hari, sebetulnya, rasa kecut semakin terasa di banyak warga Jepang. Sebelum bencana, Jepang sedang mengalami krisis politik dan kebuntuan perkembangan ekonomi. Posisinya sebagai negara maju kedua di dunia setelah AS, terdepak tahun lalu oleh Cina. Hari-hari ke depan sungguh muram.
Tapi, di tengah kemuraman itu, satu kata mencuat: "Gambaru".
Secara harfiah, kata ini berarti, kurang lebih: "Jangan pernah sekali-kali menyerah!", atau "terus berjuang hingga titik darah penghabisan." Bahkan, salah satu maknanya adalah "Jangan menyerah, ketika kalah." Turunan kata ini adalah "gambare" atau "gambate", ucapan penyemangat yang antara lain sering dicantumkan di akhir surat. Sewaktu gempa besar Kobe pada 1995, slogan kota memberi semangat warga membangun kembali Kobe adalah "Gambare Kobe".
Semangat ini, dalam beberapa hari mencuat, antara lain gara-gara sebuah video liputan tsunami. Video ini sedang popular di kalangan muda Jepang. [Lihat video itu di sini]. Seorang kakek, dengan istri dan anaknya, serta seekor anjing peking, selamat dari tsunami karena berada di lantai tiga rumahnya. Ketika pasukan penyelamat datang bersama para wartawan tiba, si kakek ditanya wartawan, "bagaimana?" Dengan tersenyum, dia jawab, "ayo, kita bangun kembali!"
Tentu saja hati para warga Jepang yang sedang murung jadi kepincut. Banyak tanggapan masuk di laman Youtube.com yang memuat video itu, agaknya rata-rata dari kaum muda Jepang. Sampai banyak anak muda berkomentar, "Omakase", atau "serahkan pada kami, kami akan selesaikan!"
Menurut Jafar (melalui Facebook), peneliti asal Indonesia yang kini mukim di Kyoto, ucapan si kakek itu sesungguhnya biasa bagi generasinya. Hanya saja, generasi Jepang yang dibesarkan bubble economy 1990-an hingga 2000-an ini, seakan lupa pada semangat itu. Kalau kita ingat, pada abad ke-20, sudah berapa kali Jepang mengalami kesulitan besar?
Warga Jepang selalu menghadapi bencana alam, gempa dan tsunami (itulah sebab kata "tsunami" jadi sumbangan Jepang pada kosakata internasional) dan sebagainya. Di saat perang, warga Jepang mengalami tekanan berat dari rezim militer fasis. Pada 1945, Jepang luluh lantak oleh bom sekutu. Terutama, bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tapi, lihat bagaimana dalam waktu dua dekade, Jepang tumbuh menjadi negara maju papan atas dunia.
Dari kehancuran, kita bisa memilih: terbenam putus asa, atau seperti si kakek Jepang tadi, tersenyum dan berucap, "ayo, kita bangun lagi!"
Gambare, Jepang!
(Hikmat Darmawan, adalah fellow Nippon Foundation API Program 2010-2011, bermukim di Tokyo)
Menakjubkan. Betapa tenang dan disiplinnya warga negara Jepang. Meskipun mereka melakukan kritik terhadap pemerintah, tetapi mereka tidak melakukan tindakan anarkis.
BalasHapusSalam,
Parfum